Jumat, 20 Juni 2008

Menapaki Kampung Halaman Sepp Blatter

Krisna Diantha dan Hanna Fauzie GERIMIS jatuh di Ulrichen, ketika kami tiba di desa kecil di kaki dataran tinggi Goms, Walis, Swiss Barat itu. Tanpa harus mengulangi pertanyaan hingga kedua kalinya, pelayan toko swalayan mungil di ujung desa itu langsung menunjukkan arah, di mana Gedenkstein, prasasti yang ditoreh tanda tangan Joseph S Blatter itu berada. “Anda lihat pot bunga kayu itu, di situlah prasasti itu,“ katanya dalam bahasa Jerman aksen Walis. Tak salah memang, prasasti batu itu, penghormatan kepada Fredy Imstep Michlig, mantan presiden desa Ulrichen, berdiri tegak diapit dua rumah berdinding kayu. Disinilah, Michel Platini, Franz Beckenbauer, dan tentu saja, si tuan rumah, Joseph S Blatter pernah berdiri terperkur, mendaraskan doa kepada salah satu warga kehormatan desa Ulrichen. Kami datang jauh dari Lucern, menembus jalan mengular berliku, naik turun hingga ketinggian 2400 meter dari permukaan laut, dihadang kabut, diancam longsornya salju , tentu bukan untuk berdoa sebagaimana trio legendaris sepak bola dunia itu. Kami datang untuk menyaksikan kampung halaman Jospeh S Blatter atau lebih dikenal Sepp Blatter, Presiden FIFA, di ujung Swiss yang berbatasan dengan Itali dan Prancis itu. Ulrichen adalah dimana puak klan Blatter pertama kali menetas di negeri kecil ini. Sepp Blatter sendiri lahir dan tumbuh di Visp, sebuah kota kecil berjarak 30 km dari Ulrichen. Namun sebagaimana umumnya manusia Swiss, jejak leluhurnya selalu terlacak dengan jelas. Dan Sepp Blatter adalah tetasan dari moyang yang memang berasal dari Ulrichen. “Asal usulnya memang ya dari sini, tapi dia lahir dan tumbuh di Visp, di dataran rendah provinsi ini juga,“ kata salah satu penduduk desa kecil itu. Ulrichen hanyalah sebuah desa kecil, namun sangat khas Swiss. Rumah rumah kayu yang dindingnya mulai menghitam karena alam, jalan aspal mulus namun bersih, serta padang rumput yang mengingatkan kita kepada film Heidi, atau The Sound of Music. Lembah nan hijau, serta sapi sapi nan gemuk, menghiasi pinggiran desa ini. Di desa ini pula, demi membalas jasa lantaran diangkat sebagai warga kehormatan, Blatter menggelar Sepp Blatter Fusball Turnier, turnamen sepak bola tahunan. “Saya selalu mengambil cuti khusus untuk turnamen ini, karena ini menyangkut nama baik saya, sebagai warga kehormatan kampung ini,“ katanya dalam situs desa Ulrichen. Saat itulah, ketika pesta sepak bola antar kampung itu dilaksanakan, Franz Beckenbauer dan Michel Platini menerima undangan Sepp Blatter. Tak hanya menyaksikan sepak bola tarkam, namun sekaligus juga meresmikan Gedenkstein Fredy Imstepf Michlig. Ulrichen pertama kali dihuni manusia pada abad 12. Namun sejarah resmi mencatat bahwa pada abad 17-lah, terdapat 12 jiwa. Salah satunya, ya klan Blatter itu. Klan ini tumbuh dan berkembang di Wallis, yang salah satunya lahir dan besar di Visp itu, dialah Sepp Blatter. Dataran tinggi Goms bukanlah kawasan pegunungan yang begitu terkenal sebagaimana Interlaken, Lucern, Saint Moritz atau Davos. Hanya turis khusus yang mengenal lembah ini. Apalagi, untuk mencapainya bukan pekerjaan mudah sebagaimana turis massal. Kami harus melewati salah satu jalur pegunungan Alpen, yang kadang ditutup kadang di buka lantaran bahaya runtuhnya salju. Syukurlah, ketika kami datang, jalur itu dibuka. Cuma, kabut tebal mengepung ketika kami tiba di puncak Furka Pass, jalanan juga berair lantaran salju mulai mencair. Beberapa bongkahan es menutup separuh jalan sempit itu. Tapi perjalanan mendebarkan itu diganti dengan kelegaan yang luar biasa. Di antara jurang yang siap menelan sopir yang ngantuk, terhampar kedahsyatan Alpen. Sungai mengular dengan air biru keputihan, lereng hijau yang dikuasai Steinbock, kambing liar bertanduk panjang, serta sisa sisa salju musim dingin yang mulai meleleh. Keindahan sekaligus kegagahan alam Alpen, mengingatkan landskap pada film Lord of The Ring : membangkitkan rasa takjub, sekaligus mengingatkan keganasan alam. Dan di Ulrichen, keindahan Swiss itu dilanjutkan. “Di sini saya tumbuh, di sini pula nanti saya ingin dikebumikan, di kampung halaman saya,“ tutur Blatter kepada Majalah Geo suatu kali. Tak mengherankan jika Blatter bangga bisa menunjukkan kampung halamannya kepada Franz Beckenbauer dan Michel Platini, dua sahabat sekaligus legenda hidup sepak bola dunia. Kami meninggalkan Ulrichen selepas tengah hari. Tujuan berikutnya adalah Visp, kota kecil yang hanya berpenduduk 6500 jiwa. Di kota inilah Blatter lahir, tumbuh dan mulai menancapkan namanya di kalangan selebritis Swiss. Tak seperti umumnya manusia Swiss yang rendah hati, Blatter pernah sesumbar sebagai orang Swiss paling terkenal sejagad, lantaran FIFA, organisasi yang dipimpinnya itu, dianggapnya paling digdaya, sekaligus terkenal seantero dunia. FIFA memang memiliki anggota yang melebihi anggota PPB. Sebuah surat pembaca di tabloid Swiss memprotesnya beberapa pekan kemudian. “Ngaco tuh Blatter, bukannya publik dunia lebih mengenal Federer,” tulis salah satu surat pembaca. Visp tidaklah seindah Ulrichen, dia hanya kota biasa di antara keindahan Alpen yang mengepungnya. Visp kalah pamor dengan Zermatt dengan Matterhornnya, Sion, Mont Blanch atau St Margnity, desa tetangganya. Sebagaimana di Ulrichen, nama Blatter juga terkenal di kota ini. Tak sampai pula bertanya untuk kesekian kalinya, penduduk setempat langsung semangat begitu kami mencari Schulhaus Sepp Blatter. “Oh, jalan saja lurus melalui jalan kecil ini, tak sampai 500 meter, disitulah sekolah dasar itu,“ kata seorang kakek sambil menunjuk sebuah gang kecil beraspal kasar. Schulhaus atau gedung sekolah itu berdiri tegak dengan halaman luas. Nama Sepp Blatter ditancapkan di dinding depan gedung sekolah dasar itu. “Karena kami memang menghormati Sepp Blatter,“ kata kakek itu ketika ditanyakan mengapa nama gedung sekolah itu diembel-embeli nama Sepp Blatter. Lagi pula, imbuhnya, saat kanak-kanak, di gedung sekolah ini pula Sepp Blatter menghabiskan sekolah dasarnya. Beberapa pelajar yang sedang latihan olah raga juga mengiyakan. Masa kecil Sepp Blatter bukanlah masa yang kanak kanak yang mudah. Dia sampai harus berjualan di sepanjang jalan kota ini, sayur dan buah hasil dari kebun pribadinya. Ibunya juga sempat melarang Blatter kecil bermain sepak bola, namun Blatter diam diam tetap bermain sepak bola. Usia 12 tahun, orang tuanya mengirimkannya ke sekolah khusus, sekolah yang juga merangkap asrama di St Maurice. Pendidikan Universitasnya dilanjutkan di Lausanne, salah satu kota yang indah di tepi danau Jenewa. Meskipun namanya begitu harum di kampung Ulrichen dan kota Visp, tudingan korupsi kepadanya tak pernah surut. Andrew Jennings, wartawan olah raga dari Inggris bahkan menulis buku khusus untuk masalah ini, Fouls. Wartawan lain, David Goldblatt dari surat kabar Independent juga menuliskan tudingan serupa terhadap Blatter.Goldblatt malah terang-terangan mengungkapkan bagaimana Blatter menyuap peserta kongres sebanyak 50 ribu dollar agar memilihnya kembali sebagai Presiden FIFA. Gaya hidup petinggi FIFA, disentil Goldblatt sangat bergelimang kemewahan. Namun, itu tadi, tudingan itu tak pernah terbuktikan hingga sekarang. Bahkan Blatter pernah ngambek dalam jumpa pers lantaran kehadiran Jenning di ruangan yang sama. Jumpa pers itu langsung dihentikan dan Jenning diusir dari ruangan. Blatter juga menang di pengadilan ketika mensomasi penuding – penuding itu. Di kampung halamannya, selama tudingan itu tidak terbukti, Blatter tetaplah warga kebanggaan di dataran tinggi Goms. “Er ist ein guter Mann, dia seorang yang baik, “ kata kakek bertopi merah itu. Sampai sekarang, jika Blatter pulang kampung, dan kangen atmosfir Visp, dia biasanya mendatangi resto kegemarannya. "Orang-orang akan berdiri, bertepuk tangan untuk dia, warga kehormatan kota ini,“ kata Walter Salzman, sahabat masa kecilnya. VISP, Switzerland 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar