Senin, 11 April 2011

Berjuang Melepas Label Bangkrut

Senin, 22 Juli 2002 merupakan hari yang tidak akan mungkin pernah dilupakan suporter Leeds United. Mereka dipaksa melihat bintang sekaligus kapten Rio Ferdinand dilego ke Manchester United (MU) untuk menyelamatkan klub dari kebangkrutan. Fans berkumpul, menangis bersama di Potternewton Park, Kota Leeds. Sebagian lagi berada di jalan Chapeltown dan Harehills. “Saya masih ingat hari itu. Saya bangga bisa ke MU, tapi saya mencintai Leeds,” ujar Ferdinand dalam autobiografinya, Rio: My Story. Ferdinand yang saat itu berusia 24 tahun merupakan pemain termahal yang dimiliki Leeds. Kokohnya Ferdinand menjaga lini belakang merupakan salah satu kunci sukses The Peacocks. Hingga musim 2000/2001 Leeds tidak pernah terlempar dari empat besar Liga Primer. Bahkan mereka melaju ke semifinal Liga Champions sebelum akhirnya dipecundangi Valencia. Namun sejumlah keputusan Direktur Umum Peter Ridsdale menjerumuskan Leeds ke kubangan utang. Ridsdale meminjam dana besar-besaran dari bank. Dia yakin bisa membayar cicilan dengan memakai pemasukan dari hak siar televisi dan sponsor. Tak hanya itu, Leed juga mendatangkan Robbie Fowler dan Seth Johnson dengan transfer besar dan gaji tinggi. Sial, pada musim 2001/2002 Leeds gagal melaju ke Liga Champions setelah peringkat keempat direbut Newcastle United. Akibatnya, pendapatan klub merosot drastis. Dana yang masuk tidak cukup untuk membayar cicilan pinjaman. Keputusan sulit pun diambil: Ferdinand dilego! Sekali lagi perjudian Ridsdale gagal. Hasil penjualan Ferdinand sebesar 29,1 juta pounds tidak menolong klub keluar dari krisis finansial. Sang nakhoda David O’Leary pun menjadi tumbal dan digantikan Terry Venables. Di bawah komando Venables, The Peacocks semakin terpuruk. Berjalan searah, pemasukan mandek. Kegalalan manajemen meningkatkan nilai kerja sama sponsor memaksa Venables melepas punggawa intinya seperti Jonathan Woodgate Lee Bowyer, Nigel Martyn, Robbie Fowler, Robbie Keane dan Harry Kewell. Venables dan menunjuk Ridsdale sebagai biang keladi keterpurukan Leeds. Menurutnya, klub harus mencari dana dari sektor lain seperti mendatangkan sponsor baru daripada menjual pemain. Saran Venables tidak didengar. Hasilnya bisa ditebak. Leeds terpaku di papan bawah klasemen. Venables pun dipecat dan diganti oleh Peter Reid. Setelah dikecam media Inggris, Ridsdale mengundurkan diri. Dengan komposisi baru di tubuh manajemen, Leeds mulai bangkit. The Peacocks selamat dari degradasi setelah memenangkan laga terakhir musim 2002/2003. Meski demikian Leeds belum mampu keluar dari krisis finansial. Reid yang menginginkan Paulo Di Canio, Patrick Berger dan Kleberson akhirnya harus gigit jari. Sebagai gantinya, manajemen memanggil delapan pemain yang dipinjamkan ke klub lain. Berbekal pemain pinjaman, Leeds langsung rontok di awal musim 2003/2004. Sekali lagi Leeds memecat pelatih dan menunjuk Eddie Gray sebagai caretaker. Beberapa pengusaha lokal dipimpin Gerald Krasner mengajukan konsorsium. Sejumlah upaya dilakukan Krasner dkk untuk menyelamatkan Leeds. Sayang semua itu tak berhasil akhir musim 2003/2004, Leeds hrus menerima kenyataan pahit terlepar dari Liga Primer untuk kali pertama dalam 14 tahun. Kesalahan Ridsdale harus terus dibayar Leeds. Ketika berlaga di Divisi Championship pun mereka tetap melepas pemain untuk mengurangi pengeluaran gaji. Pelatih Kevin Blackwell dipaksa bergantung pada pemain yang didatangkan dengan status bebas transfer. Sekali menempel label bangkrut sangat sulit dilepas. Pada musim gugur 2004, Leeds menjual kandang mereka Elland Road dan markas latihan seharga 4,2 juta pounds. Leeds kembali berganti pemilik. Ken Bates yang membeli Leeds seharga 10 juta pounds, awalnya merupakan angin segar. Namun, Leeds kembali terpuruk lantaran kekurangan aliran dana akhirnya terlempar ke divisi satu untuk kali pertama. Secara resmi Leeds dinyatakan bangkrut oleh pengadilan. Kini, Leeds mulai merintis untuk kembali ke trek yang benar. Berbekal pemain bebas transfer, The Peacocks promosi ke Championship pada akhir musim 2010/2011. Keuangan mereka dikontrol ketat oleh lembaga finansial, dan belum dinyatakan sehat. Klub Inggris Southampton juga bernasib hampir serupa. Pada April 2009, The Saints dimasukkan ke Administrasi, lembaga yang menangani kesulitan finansial, setelah gagal mencapai kesepakatan perpanjangan pinjaman dengan Barclays Bank. Southampton bergelut dengan krisis keuangan sejak terdegradasi dari Liga Primer pada 2005. Penyebab kebangkrutan The Saints adalah pinjaman sebesar 30 juta punds untuk membangun stadion anyar. Klub ternyata tak mampu membayar cicilan lantaran pemasukan yang minim. Gaji pemain pun terlambat sehingga poin Southampton dikurangi 10. Alhasil mereka tergedradasi ke Divisi Satu. Kedatangan owner anyar Markus Liebherr pada Juli 2009 menjadi angin segar. Kucuran dana dan deal dengan sponsor mulai menyehatkan keuangan klub. Selain klub Inggris, tim Seri A SS Lazio juga nyaris dinyatakan bangkrut pada akhir musim 2003/2004. I Biancocelesti lalai membayar pajak sehingga jumlahnya menggunung yakni 140 juta euro. Beruntung, Kantor Pajak Kota Roma bisa diajak berunding. Alih-alih membayar kontan, Lazio diizinkan mencicil hingga 23 tahun ke depan. Nasib Colo Colo (klub Chile), Servette FC (Swiss) dan Veendam FC (Belanda) tidak semujur Lazio. Hingga saat ini mereka masih berjuang keluar dari kebangkrutan.

Senin, 21 Maret 2011

Antusiasme Jong Indonesia

Bola mata cokelat muda milik Jemayel Maruanaja membesar, ketika ditanyakan pendapatnya soal sepak bola nasional. Salah satu pemain yang tergabung dalam Jong Indonesia ini mengaku buta tentang perkembangan si kulit bundar di Tanah Air. Minimnya saluran televisi Asia di Eropa, menjadi salah satu alasan punggawa milik Fortuna Sittard tersebut. “Saya sama sekali tidak tahu. Tapi, saya sangat senang bisa ke Indonesia untuk bermain melawan beberapa tim,” papar pemain berusia 22 tahun tersebut. “Ini adalah kala ketujuh saya ke Indonesia. Tapi, kami ini berbeda karena saya datang bersama teman-teman untuk bermain sepak bola,” imbuh bek yang mengidolai Dani Alves dan Giovanni van Bronckhorst tersebut. Bukan hanya Jemayel yang melontarkan hal ter
sebut. Steven Steegh juga mengeluarkan kometar yang nyaris senada. Kiper yang tercatat sebagai punggawa Borussia Moenchengladbach itu tidak pernah mendengar berita tentang persepakbolaan nasional. Setelah meladeni Nusaina FC di Ambon, Selasa (15/3), Jong Indonesia menjajal Pelita Jaya di Stadion Utama Gelora Utama Soekarno (SUGBK), Sabtu (19/3). Dalam pertandingan tersebut, kedua tim berbagi angka 1-1. Gol cepat lahir pada pertandingan uji coba tersebut. Laga baru berjalan empat menit, pemain Pelita Jaya Riyandi Ramadhana berhasil melesakkan gol. Namun, keunggulan klub berjuluk The Young Guns tersebut hanya bertahan empat menit. De Jong Indonesia terhindar dari kekalahan setelah Michel Van Veen mencetak gol pada menit ke-8. Hasil imbang tersebut bertahan sampai pertandingan usai. “Laga hari ini (kemarin) lebih berat dari sebelumnya. Pemain Pelita Jaya sangat mobile. Mereka bermain sebagai unit. Kerjasama tim Pelita Jaya sempat mengejutkan kami. Tapi, untuk berkembang mereka harus mengasah kemampuan di kompetisi," ungkap Pelatih Jong Indonesia Johnny Taihuttu. Hadirnya Jong Indonesia di tanah Air tak lepas dari rencana pemerintah untuk menularkan skill individual, teknik kepada pemain muda di Indonesia, khususnya Maluku. “Ini adalah program (pertandingan uji coba) yang positif, karena akan memotivasi para pemain muda Maluku. Bertanding melawan mereka (Jong Indonesia) akan memotivasi pemain muda Maluku untuk mengejar karier di Belanda,” papar Presiden Direktur Nusaina Group, Sihar Sitorus. Komentar senada juga dilontarkan Ketua Organizing Committee (LOC), Amril Buamona. “Kehadiran dan pertandingan melawan mereka juga akan meningkatkan motivasi para pemain muda Indonesia,” papar Amril,yang juga asisten staf khusus presiden bidang pembangunan daerah dan otonomi daerah ini. Dengan program yang berkesinambungan Amril dan Sihar optimistis skill pesepak bola muda akan semakin terasah. Dan, cita-cita untuk memiliki timnas sepak bola yang lebih baik akan terwujud. “Pemerintah mendorong dan bekerja sama dengan pihak lain untuk terus berusaha memajukan sepak bola,” pungkas Amril. JAKARTA, Indonesia 2011

Kamis, 17 Maret 2011

Sepak Bola Jadi Kebutuhan Wajib dan Dijuluki Brasil Van Ambon

Di Desa Tulehu, Kecamatan Solahutu, Maluku Tengah, sepertinya setiap bocah laki-laki diciptakan untuk bermain sepak bola. Mereka bahkan lebih takut tertinggal bola plastik ke sekolah dibandingkan lupa membawa buku pelajaran atau luput mengerjakan pekerjaan rumah. Dan, setiap ada jeda waktu, mereka akan berada di sisi pantai, jalan atau rela berbagi tanah lapang dengan sapi untuk menendang si kulit bundar. Anak-anak itu memendam cita-cita luhur, menjadi tulang punggung timnas Indonesia suatu hari kelak. Di desa ini pula lahir gelandang Persija Ramdani Lestaluhu. Pemain yang juga pernah jadi anggota timnas U-19 serta U-23. Atau, mantan stopper timnas Indonesia Khairil ‘Pace’ Anwar yang juga lahir di desa ini. Pace juga bek tangguh di era awal 2000’an, kala membela Persebaya Surabaya dan sebelumnya Barito Putra dan Assyabaab Salim Grup Surabaya (ASGS). ”Mereka ingin seperti saudara-saudaranya yang menjadi pesepak bola profesional. Dan, impian itu melekat di benak mereka setiap kali bermain sepoak bola,” ujar Luthfi, yang merupakan kakak kandung dari Ramdani ”Mereka ingin seperti saudara-saudaranya yang menjadi pesepak bola profesional. Dan, impian itu melekat di benak mereka setiap kali bermain sepoak bola,” ujar Luthfi, yang merupakan kakak kandung dari Ramdani Lestaluhu. Bukan hanya Ramdani atau Pace yang mengharumkan nama Tulehu di kancah sepak bola. Tempat indah ini seakan tidak pernah kehabisan calon bintang kulit bundar. Tercatat lima remaja asal Tulehu berlatih di Uruguay, Alvin Tuasalamony, Rizky Pellu, Saeful Ohorella, Abdul Rahman Lestaluhu dan Sedek Sanaky. Bakat anak-anak Tulehu ini mendapat perhatian besar. Terutama dari Nusaina Group, lewat Nusaina FC. Ditambah bantuan pemerintah daerah, Nusaina Group berkomitmen untuk berpartisipasi memajukan sepak bola di Maluku. Lantaran hal ini pula, mantan pemain yang dulu merantau dan kini pulang kampung, untuk turut mengasah bakat para juniornya. Apalagi, tim ini berkonsentrasi pada pembinaan pemain usia di bawah 18 tahun itu. ”Kami siap memfasilitasi untuk membangun sepak bola Maluku, dan tentu saja Tulehu,” papar Direktur PT Nusaina Group Soedarjo Sumitro. Sepak bola juga tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan remaja Tulehu. Lapangan Matawaru yang terletak di tepi pantai Tulehu, tak pernah sepi apalagi Nusaina FC berlatih atau bertanding. Stamina pemain yang tak kenal lelah, kecepatan berlari yang mengagumkan, skill individual yang atraktif, membuat penonton rela berlama-lama di stadion. Tak heran, beberapa media lokal menyebut Tulehu sebagai Brasil van Ambon. ”Jika kami memiliki fasilitas yang lebih memadai, kemampuan pemain tentu bisa ditingkatkan,” imbuh Luthfi, yang merupakan pelatih Nusaina FC. ”Kami sudah lama tahu Maluku menyumbang banyak pemain untuk timnas. Kami berharap pihak terkait lebih memperhatikan untuk mengembangkan sepak bola Indonesia timur.” Lanjutnya. Momen paling indah bagi Tulehu ketika mewakili Maluku dalam turnamen U-15 Piala Medco 2006. Maluku, yang didominasi remaja Tulehu berhasil menjadi juara nasional setelah menjinakan favorit juara Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. AMBON, Indonesia 2011