Sabtu, 10 Juli 2010
Ketika El Dios Menyerah Pada Nasib
DALAM Bahasa Spanyol dios adalah tuhan. Tapi, pers Argentina menggunakan sebutan sakral tersebut sebagai kata pengganti Diego Armando Maradona. Sedemikian tinggi Maradona di mata masyarakat negeri tango. Maka tak heran ketika ada komentar yang menyentil el dios maka orang Argentina bakal membelanya mati-matian. Termasuk ketika pers asing mengkritik taktik yang diterapkan saat Los Albicelestes dihancurkan Jerman 4-0, di perempat final Piala Dunia 2010. Bagi pers Argentina, apa yang dilakukan Maradona sudah benar. Hanya saja, Jerman lebih dominan sehingga memenangkan laga tersebut. Tak ada kritik. Seakan seperti manusia yang takut kualat bila memprotes apa yang sudah digariskan Tuhan.
Apa yang dilontarkan Maradona selepas laga juga tak membuat pecinta Los Albicelestes murka. Hal yang tentu saja berbeda ketika pelatih tim lain gagal meloloskan timnya ke babak berikutnya di turnamen seakbar Piala Dunia. “Mereka (Jerman) mencetak gol dan kami tidak,” ujar Maradona dalam konferensi pers selepas pertandingan.
Di Argentina masyarakat berduka. Di jalan-jalan di mana digelar nonton bareng, ribuan orang menangis. Ekspektasi warga Argentina sudah sangat tinggi. Mereka yakin Maradona bakal mampu menjadi penawar rindu tak pernah direngkuhnya mahkota Piala Dunia sejak 1986. Meski demikian hanya akan ada segelintir orang yang bakal menyalahkan Maradona.
“Iya mereka (warga Argentina) bakal menangis, bersedih dan terluka akan kegagalan ini. Tapi, saya katakan tidak bakal ada yang mengecam Maradona,” curhat seorang jurnalis Argentina Diego Provenzano kepada saya.
Setelah Thomas Mueller membobol gawang Sergio Romero ketika laga baru berjalan tiga menit, wajah Maradona memang sudah terlihat gelisah. Tangan kirinya menggenggam kuat rosario yang setia dibawa Maradona di setiap laga yang dipimpinnya. Emosinya tak terkontrol setelah Der Panzer menambah pundi gol. Pria yang membahagiakan Argentina dengan titel juara dunia 24 tahun lalu di Meksiko tersebut menyerang nahkoda Jerman Joachim Loew lantaran memprotes keputusan wasit yang merugikan Los Albicelestes. Akhinya Maradona menenggelamkan wajahnya ke dalam telapak tangan setelah Miroslav Klose menggenapkan keunggulan Jerman menjadi 4-0.
Maradona bahkan lupa dengan ritualnya mencium pipi setiap pemainnya setelah pertandingan. El Dios harus menerima nasib tersingkir dari Piala Dunia. Dia ngeloyor masuk ke ruang ganti. Padahal Maradona adalah satu-satunya nahkoda di Piala Dunia ini yang selalu mencium dan memeluk para punggawanya sebelum dan setelah laga.
CAPE TOWN, South Africa 2010
Sinar Mentari Melimpah, Stadion Dipenuhi Wanita Seksi
Turnamen sepak bola seperti Piala Dunia identik dengan suporter wanita cantik dan seksi. Tapi, lantaran turnamen kali ini berlangsung di musim dingin maka terjadi pengecualian. Pada awal bergulirnya Piala Dunia, seluruh penonton pertandingan datang ke stadion dengan tubuh ditutup pakaian tebal tak ketinggalan juga mantel. Mereka tidak mau ambil risiko berpakaian minim lantas terserang flu atau radang tenggorokan keesokan harinya. Dengan biaya hidup yang sangat tinggi, di Afrika Selatan (Afsel) warga lokal ataupun turis sangat menjaga kesehatan.
"Sungguh sesuatu yang gila menonton pertandingan sepak bola dengan kostum seperti ini," ujar Carlise seorang pendukung timnas Uruguay, saat Diego Forlan menggelar laga perempat final kontra Ghana (2/7) silam. "Seharusnya turnamen seperti ini dilangsungkan di musim panas. Dimana matahari bersinar penuh, dan udara yang hangat. Tidak seperti ini, dingin dengan angin kencang. Menyedihkan."
Namun ada sesuatu yang berbeda menjelang laga Spanyol kontra Jerman di Moses Mabida, Durban. Matahari dengan royalnya membagikan sinarnya. Selain karena memang Durban lebih hangat dibandingkan delapan kota tuan rumah lain Piala Dunia 2010. Suhu di kota dengan view Samudera Hindia tersebut meningkat satu hari menjelang memanggungkan partai Spanyol versus Jerman.
Kondisi ini tentu saja membuat gila bola wanita gembira. Mereka bebas memakai busana seminim mungkin sembari menikmati panasnya mentari. Dan, pertandingan Der Panzer melawan kampiun Euro 2008 bakal menjadi saksinya. Pendukung wanita Der Panzer dan La Furia Roja ramai-ramai berbikini ria, bagian atas saja tentu saja. Bukan hanya para gila bola wanita yang senang hati dengan hari yang cerah, penjual pakaian seperti tank top atau bahkan bikini pun juga tersenyum. Omset yang sempat turun di awal kompetisi kini kembali melonjak.
DURBAN, South Africa 2010
Minggu, 04 Juli 2010
Banjir Bintang Hollywood di Cape Town
Pertandingan perempat final Piala Dunia 2010 antara Argentina versus Jerman tidak hanya memanggungkan aktor lapangan hijau. Di deretan kursi VIP tampak wajah-wajah yang biasa tampil di film-film Hollywood. Di antaranya Leonardo DiCaprio dan Charlize Teron. Selain itu ada juga penyanyi gaek kebangsaan Inggris, Mick Jagger.
Bila kehadiran Teron bisa dimaklum lantaran aktris cantik ini memang warga Afrika Selatan (Afsel), tuan rumah Piala Dunia 2010. Lalu, mengapa DiCaprio, yang pernah mengatakan sepak bola adalah olah raga paling membosankan ke tabloid The Sun, Februari lalu hadir di Stadion Green Point, Cape Town. Ternyata ada alasan istimewa di balik kehadiran aktor yang dikenal lewat serial Growing Pains tersebut. Berhembus kabar DiCaprio ditawari sutradara beken Martin Scorsese untuk memerankan kapten timnas ketika Jerman (Barat) menjuarai Piala Dunia 1954, Friedrich ‘Fritz’ Walter.
Bukan lantaran sering bekerja sama di sejumlah film, Scorsese meminang aktor beruisia 35 tahun itu. Atau karena ibunya adalah seorang Jerman. Tapi fisik DiCaprio dengan Walter juga memiliki sejumlah kesamaan. Keduanya sama-sama pirang, bingkai wajah kaku, dan tipikal yang sangat percaya diri. Postur tubuh keduanya juga tidak terlalu berbeda jauh. DiCaprio hanya lebih tinggi dua cm dari Walter yang berpostur 180 cm.
Dalam film itu bakal dipaparkan, perjalanan hidup Walter yang sangat berwarna. Meski sangat mencintai sepak bola Walter memilih bergabung dengan militer pada 1942. Entah bagaimana, akhirnya Walter malah terdampar di kamp tahanan di Maramarossziget, Hungaria. Pria yang saat itu berusia 24 tahun itu menyalurkan kecintaannya terhadap si kulit bundar dengan bermain sepak bola bersama tentara Hungaria dan Slovakia. Kamp tersebut akhirnya dikuasai oleh Uni Soviet. Dimana mereka mengirimkan tentara kebangsaan Jerman ke Gulag. Di tempat ini tidak pernah ada tawanan yang bisa hidup hingga lima tahun ke depan. Beruntung, seorang sipir penjara mengatakan Walter bukan warga Jerman melainkan Austria. Nyawanya pun selamat. Sekembalinya ke Jerman, dia bergabung dengan klub masa kecilnya, Kaiserslautern. Dia membawa Kaiserslautern merebut gelar juara liga pada 1951 dan 1953. Pelatih Jerman saat itu Sepp Herberger memanggilnya pada 1951. Tak lama Walter ditunjuk sebagai kapten Jerman. Pada 1954, Walter membawa Jerman merengkuh trofi Piala Dunia pertama.
CAPE TOWN, South Africa 2010
Jumat, 02 Juli 2010
Terima Kasih Loftus Versfeld, Goodbye!
DARI 10 stadion di sembilan kota tuan rumah Piala Dunia, bagi Harian Seputar Indonesia (SI) Stadion Loftus Versfeld di Pretoria merupakan yang paling ‘ramah’. Di kandang tim rugby Blue Bulls tersebut peraturan tidak terlalu serumit Soccer City atau Ellis Park d Johannesburg. Sehingga ‘curi-mencuri- wawancara dengan pelatih timnas atau pemain yang bakal atau setelah pertandingan bisa dilakukan. Di tempat ini SI berhasil mengorek informasi di antaranya dari mulut playmaker Spanyol Xavi Hernandez plus nakhodanya, Vicente del Bosque serta kapten Kamerun Samuel Eto’o. Keramahan Loftus juga menular pada tamu-tamunya. Mantan pesepak bola atau pelatih papan atas dunia, yang datang k
e Piala Dunia untuk melakoni pekerjaan sampingan, menjadi komentator juga tak pernah sungkan meluangkan waktu. Sebut saja, arsitek Arsenal Arsene Wenger, mantan kartu As Chile Ivan zamorano hingga kiper sensasional Paraguay Jose Luis Chilavert. Penjagaan yang tidak terlalu ketat bagi para tamu istimewa ini memberikan keberuntungan bagi SI. Selain itu, para media officer Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) juga tak segarang di venue lainnya. Mereka cukup pengertian memberi waktu untuk mewawancara pemain atau pelatih di luar konferensi pers. Kondisi ini tidak mungkin ditemui di Soccer City atau Ellis Park. Bila membandel, akreditasi Piala Dunia taruhannya. Di Soccer City yang disebut sebagai stadion terketat, jurnalis dari media cetak diharamkan membawa kamera. Jika kedapatan membawa alat potret itu ke dalam stadion atau tempat temu wartawan, maka bakal disita. Situasi tak jauh berbeda juga dirasakan di Stadion Peter Mokaba, Polokwane. Stadion yang hanya memanggungkan tiga partai di babak grup tersebut memasang pagar sehingga jurnalis tidak bisa terlalu dekat dengan bintang sepak bola.
Pada Selasa (29/6), Loftus menggelar laga terakhirnya di Piala Dunia. Venue yang identik dengan warna biru itu menjadi sakti lolosnya Paraguay ke babak perempat final. Keramahan Loftus dirasakan banyak jurnalis. Tak heran setelah pertandingan, sejumlah wartawan mendatangi kantor media officer di Loftus untuk mengucapkan terima kasih. Goodbye Loftus!
PRETORIA, South Africa 2010
Langganan:
Postingan (Atom)