Rabu, 30 Juni 2010

Manolo dan El Bombo de Espana, Roh La Furia Roja

BILA ada predikat suporter paling fanatik mungkin paling tepat disematkan kepada Manuel Caceres Artesero alias Manolo. Tangannya yang sudah mulai keriput tak lelah menabuh drum sepanjang laga Spanyol kontra Portugal dipentaskan. Bunyi yang keluar dari benda yang bertuliskan El Bombo de Espana (Drum Spanyol) seakan-akan menjadi ritme permainan La Furia Roja –julukan Spanyol- saat menaklukkan Seleccao das Quinas –julukan Portugal 1-0 di perdelapan final Piala Dunia 2010, Selasa (29/6). “Saya selalu merasa saya bagian dari tim. Saya menyemangati mereka dengan tabuhan drum ini,” ucap Manolo. Manolo memang bukan sembarang suporter. Pria kelahiran Ciudad Real, Spanyol ini tidak pernah melewatkan satu pun pertandingan La Furia Roja sejak Piala Dunia 1982. Kepada saya Manolo menegaskan tekadnya bakal pensiun mendukung langsung Spanyol di laga internasional jika sudah mengikuti 12 Piala Dunia. Ini artinya pria yang juga merupakan pendukung Valencia tersebut baru akan berisirahat pada 2026 atau ketika berusia 77 tahun. “Dahulu saat Piala Dunia di Spanyol (1982) saya harus menumpang banyak kendaraan di jalan raya agar bisa mengikuti timnas. Ketika itu saya terus menabuh drum. Entah sembilan atau 10 drum yang saya pakai di Piala Dunia. Saya ganti bila robek atau rusak,” papar Manolo. Di setiap laga Spanyol di belahan dunia manapun pertandingan tersebut digelar, Manolo berserta drum, dan kostum bernomor punggung 12 selalu hadir. Tak pernah tertinggal pula topi baret hitam Basquet yang selalu melekat di kepalanya. Tapi kecintaan Manolo pada La Furia Roja memiliki konsikuensi yang sangat besar. Suatu saat pada 1987, Manolo pulang ke kediamannya setelah mendukung Spanyol di pertandingan kualifikasi Piala Eropa (kini Euro) 1988. Tapi, ternyata istri dan anaknya sudah pergi meninggalkan rumah dan tak pernah kembali. Diakui Manolo, dirinya kerap dibelit masalah finansial untuk membiayai perjalanan jauh saat mendukung La Furia Roja. Selain itu, Manolo juga selalu menolak bila ada pihak lain yang ingin membantu mengeloloa bar miliknya. “Saya mempunyai bar di sebelah stadion Mestalla (Valencia). Saya akan tutup ketika saya berpergian. Saya tidak prnah mau menyerahkan usaha saya walaupun sering rugi,” imbuh Manolo. PRETORIA, South Africa 2010

Senin, 28 Juni 2010

Pangling Mario Kempes

KAMI, jurnalis dari Indonesia berusaha keras mengenali sosok jangkung tersebut. Berbalut jas hitam dengan celana panjang warna senada, dia sesekali membetulkan letak kacamatanya. Dia menyambut semua yang menghampirinya dengan ramah, terutama yang memakai bahasa Spanyol. Didesak rasa penasaran yang amat sangat akhirnya kami mendekati pria yang sekilas mirip dengan aktor gaek tanah air, Mark Sungkar itu. Tak lama seorang dari kami berseru. “Itu Mario Kempes!” Dan, yang lainnya kompak berujar.”Ah, kok dia sangat kurus?” Mendengar celotehkan kami, Kempes tersenyum. Kami lalu memperkenalkan diri, mengetahui dari Indonesia dia menyambut dengan sangat hangat. Keperkasaan Kempes nyaris hilang tak bersisa. Wajahnya tirus, pipinya menggelayut dan yang paling mencolok adalah tubuh kurusnya. Padahal, pria kelahiran Bell Ville, Argentina, 55 tahun silam tersebut pernah sangat akrab dengan gila bola Tahan Air. Pada 1996 dia membela Pelita Jaya dan kemudian menukangi tim berjuluk Macan Kemayoran itu. “Sayang bahasa Inggris saya buruk. Bahas Indonesia juga sudah lupa,” keluh Pahlawan Argentina di Piala Dunia 1978 tersebut. “Kamu tahu, tidak banyak yang mengenali saya sekarang karena saya kehilangan berat badan.” Ketika ditanya, mengapa dia bisa seperti sekarang, Kempes juga tidak mengerti. “Mungkin karena saya semakin tua,” ujarnya sambil tersenyum. Kempes berada di Afrika Selatan (Afsel) untuk menjadi komentator ESPN Deportes, yakni edisi berbahasa Spanyol saluran televisi tersebut. “Saya di sini untuk pertandingan Argentina (kontra Meksiko, babak 16 besar Piala Dunia),”jelasnya. Kempes yakin dibawah komando Diego Armando Maradona, Los Albicelestes bakal mengakhiri puasa trofi Piala Dunia. “Saya berbicara bukan sebagai orang Argentina, tapi karena tim ini sangat solid,” pungkas Kempes. JOHANNESBURG, South Africa 2010

Sabtu, 26 Juni 2010

Pesta Arema Bukan Hanya di Malang

Selebrasi Arema Malang bukan hanya berlangsung di kandangnya saja. Pesta untuk merayakan sukses Singo Edan merebut trofi Djarum Indonesia Super League (DISL) juga berlanjut di Soccer City, Johannesburg, panggung laga 16 besar, Argentina versus Meksiko, Minggu (27/6). Adalah Harie Pandiono yang membawa bendera kampiun DISL berkibar ke Soccer City. Pria yang bekerja sebagai Senior Project Admin/Cost Control Manager Freeport McMoRan Copper & Gold, Inc di Kongo (DRC) tersebut rela membawa spanduk raksasa bertuliskan ‘Arema Indonesia’ seberat 12 kg dengan ukuran 6x8 meter ke Afrika Selatan (Afsel). Spanduk super gede ini sukses dipasang di tribune penonton. Sayang, tak lama berselang datang polisi dan meminta Harie untuk menurunkan spanduk. Alasannya: mengganggu orang lain karena menjuntai melewati tinggi tribune. Namun, Polisi membiarkan Harie untuk melambai-lambaikan Bendera Arema sepanjang laga Los Albicelestes kontra El Tri. Rasa bangga terpancar jelas di wajah Harie, yang merupakan salah satu penggemar fanatik klub besar asal kota Malang tersebut. Matanya berbinar ketika menyaksikan bendera Arema bisa bersanding dengan bendera Argentina dan Meksiko. “Meski timnas Indonesia gagal di kualifikasi, yang penting bendera Arema telah ditancapkan!” tegas Harie. Penasaran dengan bendera yang berbeda itu, banyak suporter bahkan ofisial FIFA bertanya pada Harie. Setelah dijelaskan Arema adalah jawara DISL, Harie malah kebanjiran permintaan untuk foto bareng. “What is your team? tanya seorang suporter Argentina kepada Harie. “My team is in my heart even they not here,” sambut pria berusia 46 tahun itu. Lalu, seorang wartawan Jepang menghampiri. “That’s the flag of The Indonesia Crazy Lion (Singo Edan),” ucapnya. Sehari sebelumnnya, Harie juga sukses menyebarkan Salam Satu Jiwa di Stadion Royal Bafokeng. Ketika para pemain Ghana dan Amerika Serikat saling bunuh untuk tiket ke perempat final, Harie tak lelah mengibarkan bendera Arema di stadion di Kota Rustenburg itu. Sebelum diterbangkan ke Afsel, bendera Arema terlebih dahulu mengangkasa di Sudan, Ethiopia dan Ghana. “Saya ingin menunjukkan bahwa seorang suporter bisa mewakili Indonesia di Piala Dunia dengan membawa spanduk dan bendera klub juara DISL,” ujar Harie yang menghabiskan USD4000 sebagai cost misinya ke Afsel dari DRC. Pemasangan spanduk raksasa Arema di tribune Soccer City dibantu oleh seorang warga Indonesia, Samuel Tirayoh, yang sengaja datang ke Afsel untuk menyaksikan laga Piala Dunia 2010. Pesan yang ingin disampaikan Harie dan rekan-rekannya adalah banyak masyarakat Indonesia yang perduli dengan kemajuan sepak bola nasional. Kita warga Indonesia, rindu terhadap prestasi Tim Merah Putih. Dengan dukungan lebih dari 200 juta penduduk, apakah terlalu muluk bila kita menyimpan harapan bisa melihat bendera Indonesia berkibar di Piala Dunia suatu saat nanti? Only time will tell. JOHANNESBURG, South Africa 2010

Rabu, 23 Juni 2010

Duplikat Kaka Mengecoh

KAKA! Kaka! Teriak seorang jurnalis berwajah Asia. Walau sudah mengeluarkan suara setinggi mungkin, yang dipanggil tetap santai. Dia tetap mondar mandir di dekat meja yang bakal dijadikan panggung konferensi pers Brasil jelang laga pamungkas Grup G kontra Portugal. Tak lama kemudian, muncul teriakan berbunyi sama dari arah yang berlawanan. Kali ini orang yang dimaksud malah mengetes mikrofon serta menempatkan air mineral di atas meja untuk pemain yang hadir di konferensi pers. Untuk kala ketika, yang dipanggil Kaka itu menoleh dan tersenyum. Nah, barulah yang tadi berteriak-teriak mengetahui kekeliruannya. Wajah Victor memang sekilas mirip dengan bintang Selecao –julukan Brasil- Kaka. Yang membedakan adalah warna rambut. Jika Victor berambut coklat tua, sedang rambut Kaka hitam. Namun, perawakan, bentuk wajah, serta cara dia tersenyum memang mirip dengan Kaka. Apalagi nama Kaka memang tertera di jadwal untuk menghadiri konferesi pers. “Kejadian tadi sangat sering terjadi. Kami (wartawan Brasil) selalu membiarkan hal itu karena sangat lucu. Mereka (wartawan non Brasil) pasti bukan yang kerap mengikuti sepak bola sehingga keliru membedakan Kaka dan Victor,” papar jurnalis Brasil Jardel Cuelho, yang duduk di sebelah saya. “Lantaran mirip, mereka tidak berpikir Kaka mondar-mandir tanpa pengawalan dan bisa berbicara di luar pagar (terdapat pagar pendek yang membatasi area wartawan dengan meja yang dipakai oleh pemain dalam konferensi pers). Ini tidak pernah terjadi di Brasil, tapi sering di luar negeri. Sangat lucu.” Ketika konferensi pers sudah berjalan, seorang reporter mengatakan banyak yang terkecoh antara Kaka dengan Victor. “Sangat mirip ya? Kami bagaikan kakak beradik,” ujar Kaka sembari tersenyum. Di ofisial Brasil, Victor tercatat sebagai press officer. Dia bersama dua rekanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan media termasuk konferensi pers. “Kami kerap juga memanggilnya Kaka. Dia hanya tertawa,” sambung Cuelho. JOHANNESBURG, South Africa 2010

Senin, 21 Juni 2010

Boudewijn ‘Bolo’ Zenden dan Nasi Goreng

‘Halo apa kabar?’ Tanyanya dalam bahasa Indonesia ketika saya memperkenalkan diri sebagai jurnalis dari tanah air. Masih dalam keadaan terkejut, dia melanjutkan “Kabar saya baik. Terima kasih. Mau nasi goreng? Sambungnya diakhiri dengan derai tawa. Itulah perkenalan saya dengan mantan bintang timnas Belanda Boudewijn ‘Bolo’ Zenden, saat menghadiri latihan De Oranje, Minggu, 20 Juni 2010 di Wits Rugby Stadium. Pertanyaan pertama yang meluncur dari mulut saya tentu saja dari mana dia bisa berbicara bahasa Indonesia. “Saya beberapa kali ke Bali bersama keluarga saya,” jelasnya kali ini dengan Bahasa Inggris. “Saya hanya tahu sedikit-sedikit saya. Bali adalah salah satu tujuan utama ketika memilih tempat berlibur,” lanjut pria kelahiran 15 Agustus 1975 tersebut. “Kamu suka makan nasi goreng?,” Saya menjawab tentu saja menyukai salah satu makanan favorit di Indonesia itu. Saya pun penasaran mengapa Zenden terus-terusan bertanya soal nasi goreng. “Saya sebenarnya tidak terlalu suka dengan makanan itu. Namun saya punya pengalaman indah dengan nasi goreng,” ucap pria yang berban hitam Judo dan juga seorang vegetarian itu. “Saya juga pernah lho ke Jakarta. Bersama PSV Eindhoven. Tapi, saya lupa bagaimana kota itu. Sekarang sudah berkembang pastinya ya?,” tanya Zenden berbinar-binar. Saya paparkan bahwa Jakarta sekarang sudah menjadi salah satu kota terdepan di Asia Tenggara. “Oh, mungkin saya bakal ke sana lagi.” Setelah puas bertanya, Zenden menjelaskan alasan dia hadir di Wits Rugby Stadium. “Saya bukan staff dari KNVB (Federasi Sepak Bola Belanda). Tapi saya datang atas undangan mereka. Saya juga tidak menjadi komentator dari salah satu stasiun televisi,” ungkap punggawa Sunderland tersebut. “Saya ingin memberi dukungan bagi rekan-rekan di Piala Dunia ini. Saya kagum dengan performa mereka. Permainan mereka sangat solid.” Lalu apakah Zenden yakin Mark van Bommel dkk bakal keluar sebagai kampiun pada 11 Juli mendatang? “Mengapa tidak? Materi tim ini bagus sekali. Saya rasa kami bisa melakukannya. Tapi Belanda harus tetap waspada.” JOHANNESBURG, South Africa 2010

Sabtu, 19 Juni 2010

Bamby oh Bamby

“LET’S eat,” ajak Lisbeth riang. Wanita berkulit hitam warga asli Johannesburg, Afrika Selatan (Afsel) sembari menyerahkan piring kepada saya. Di atas piring ceper terdapat dua potong daging panggang, mashed potato, dan salad yang sudah dicampur dengan dressing-nya. Bau yang dikeluarkan makanan tersebut sangat harum, mengundang selera. Tampilannya juga tampak sangat nikmat. Tak terasa, beberapa kali saya menelan ludah. Ketika sedang memotong daging, yang agak mirip steak itu, saya bertanya bahan dasar makanan tersebut, awalnya sih hanya untuk melumerkan suasana karena sering terjadi jeda ketika ngobrol dengan Lisbeth. Tapi jawaban dari Lisbeth membuat rasa lapar menguap seketika. “Itu daging kudu,” ujar wanita berusia 27 tahun itu enteng. “Kudu? binatang mirip rusa besar itu?” tanya saya tak percaya. “Benar, coba saja. Anda pasti ketagihan,” lanjut Lisbeth. Kontan selera makan saya hilang. Bukan karena tidak mau mencoba tapi rasanya tak tega memakan mahluk yang masih kerabat Bamby tersebut. Setelah dijelaskan Lisbeth mau mengerti. Dia lalu bercerita bahwa daging Kudu sudah umum dikonsumsi. Jadi, bukan tergolong extreme food. “Kalau mau ekstrim banyak yang bisa Anda makan. Daging sejenis kera kecil misalnya,” lanjut Lisbeth. Daging Kudu bisa diolah untuk berbagai panganan. Selain steik, daging kudu biasa digunakan sebagai bahan utama braai – berbekyu ala Afsel- atau dibuat biltong sejenis jerky alias dendeng. Dijelaskan Lisbeth, jerky kudu biasanya lebih disukai sebagai oleh-oleh. “Ada berbagai rasa, asin atau pedas. Banyak yang dari luar Afsel membawa daging kudu untuk buah tangan,” lanjut wanita yang berprofesi sebagai pelayan di guest house itu. Ketika masih mencerna penjelasannya, Lisbeth kembali memberi kejutan. “Apa anda ingin mencoba daging wildebeest? Saya bisa membelikannya untuk Anda kalau mau.” Saya tolak tawaran Lisbeth. Wildebeest merupakan binatang mirip kerbau yang bisa tumbuh hingga 147cm dengan berat 270 kg. M
eski jadi buruan singa, cheetah, atau buaya, binatang ini sangat kuat. “Banyak yang percaya kekuatan wildebeest akan dirasakan jika kita mengkonsumsi dagingnya,” tutup Lisbeth. JOHANNESBURG, South Africa 2010

Kamis, 17 Juni 2010

Magis Baobab dari Limpopo Afrika Selatan

Pernah nonton film Lion King? Kalau iya, pasti tahu dengan pohon besar dimana Rafiki, seekor baboon yang berprofesi sebagai dukun tinggal. Dipengaruhi oleh ‘kebijakan’ pohon Baobab, Rafiki meramalkan Simba menjadi raja paling arif yang pernah berkuasa di Pride Rock.
Kebijakan Baobab, bukan hanya ada di film atau cerita rakyat Afrika. Di Afrika Selatan (Afsel) pohon yang sangat besar dan rindang ini sangat diagung-agungkan orang Afrika, termasuk Afrika Selatan (Afsel). Dari cerita yang disampaikan secara turun temurun, awalnya manusia berasal dari pohon Baobab. Karenanya, para raja dari berbagai suku di benua ini kerap menggelar pertemuan di bawah pohon yang bisa tumbuh hingga 30 meter dengan diameter 11 meter. Selain nyaman, mereka percaya pohon tersebut menjaga kepala para pemimpin tetap dingin. Sehingga konflik perebutan wilayah bisa diatasi tanpa pertumpahan darah. Baobab juga terbukti memiliki kelembaban yang sangat tinggi. Tak heran, bila banyak hewan berlindung dan mengandalkan daun pohon ini sebagai sumber makanan. Gerombolan gajah kerap terlihat memakan daun serta ranting kecil pohon ini. Atau berbagai burung yang mengkonsumsi buah Baobab. Sedangkan bunga tumbuhan yang berserakan di tanah menjadi jatah antelope (sejenis rusa). Tumbuhan yang berasal dari genus Adamsonia ini sungguh luar biasa. Di Sunland, Modjadjiskloof, Provinsi Limpopo, sekitar dua jam perjalanan dari Kota Limpopo, terdapat Baobab terbesar di dunia. Dari pemerikasaan karbon diketahui baobab di tempat ini berusia sekitar 6000 tahun. Saking tuanya, pohon ini berlubang sehingga cukup untuk menampung 50 orang dalam posisi berdiri. Inilah yang membuat pasangan Doug dan Heather van Heerden membeli komplek pertanian yang di dalamnya terdapat pohon raksasa ini. Keduanya lantas menyulap baobab menjadi bar. Di dalamnya bisa memuat 20 orang plus lima meja bundar. Sayang ketika saya berkunjung ke Sunland, daun baobab sudah hampir gugur seluruhnya. Maklum saja saat ini di Afsel sedang musim dingin. “Kami sangat percaya akan apa yang dimiliki pohon baobab. Kami sangat menghormatinya. Tumbuhan itu sangat tua, dan sudah mengalami banyak hal yang terjadi di dunia,” ungkap Rosella Mbekji, seorang tour guide di Provinsi Limpopo. LIMPOPO, South Africa 2010

Irit Shampo-Sabun Boros Body Lotion

SUHU dingin yang rata menyapa Afrika Selatan (Afsel) tidak hanya membuat tubuh menggigil. Tapi juga berimbas sangat luas terhadap siapapun yang datang ke Piala Dunia 2010. Johannesburg, Pretoria, Polokwane serta Cape Town dalam empat hari terakhir ini dipeluk temperatur minus 3-5 pada malam hari. Alhasil, kulit pun menjadi sangat kering. Pelembab kulit atau yang biasa kerap body lotion ini menjadi barang wajib beserta lip balm (pelembab bibir). Sayangnya, body lotion atau lip balm yang dibawa dari tanah air masing-masih kurang efektif melawan suhu negara pimpinan Jacob Zuma ini. Jadi, solusi satu-satunya adalah datang ke supermarket, dan membeli body lotion khusus untuk musim dingin. Dikutip dari harian lokal Randburg, penjualan body lotion meningkat seiring pagelaran Piala Dunia 2010. Bila lupa mengenakannya, kulit bibir bakal pecah-pecah. Sedangkan kulit bakal sangat kering. “Saya sampai sulit untuk tersenyum. Kalau dipaksakan akan berdarah,”ujar pendukung Australia, Robert Smith. “Biasanya saya anti memakai body lotion, tapi saya tidak bisa melakukan apa-apa. Suhu ini sangat menyiksa,” lanjut pria asal Sydney tersebut. Jika pagelaran Piala Dunia ini membuat penikmatnya di Afsel harus mengeluarkan dana ekstra untuk membeli body lotion, beda halnya dengan sabun atau sampo. Kedua barang ini justru sangat irit. Tak banyak orang yang mencuci rambut atau mandi, karena tak tahan udara yang amat menusuk tulang. Memang bisa dipastikan di setiap rumah, hostel, guest house apalagi hotel tersedia air hangat untuk mandi. Tapi, setelah mandi air hangat, badan biasanya bakal menggigil kedinginan lantaran menyesuaikan dengan suhu yang berada di ruangan. “Saya memilih untuk tidak mandi atau mencuci rambut. Tentu saja ini membuat sabun atau sampo jarang digunakan. Saya tidak mau mengambil risiko untuk sakit gara-gara harus mandi,” papar seorang suporter Meksiko, Juan Fernandez

Selasa, 15 Juni 2010

Berburu Sarang Matador

KEAMANAN super ketat sangat terasa ketika saya memasuki kawasan Potchefstroom. Sebuah kawasan sekitar satu jam dari selatan Johannesburg itu menjadi tuan rumah bagi Spanyol. Potchefstroom menawarkan rasa tenang, sunyi bagi Fernando Torres dkk. Tapi, area yang dihuni 130.000 jiwa ini sungguh tidak ramah bagi wartawan. Dalam radius dua kilometer, tanda dilarang mnendokumentasikan kawasan tersebut sudah terlihat jelas. Jika nekat, pe
tugas keamanan tak segan-segan mengambil kamera, atau video recorder. Penggunaan kamera hanya boleh dilakukan ketika La Furia Roja berlatih di Senwes Park milik Universitas North West Potchestroom. Setelah menyerahkan kamera, saya dipersilahkan untuk melihat-lihat kawasan terkena demam Piala Dunia lantaran La Furia Roja menetap disana. Selain tanda-tanda sejumlah larangan, beberapa jalan juga diblokade. “Untuk sementara jalan-jalan itu tidak bisa dilalui,” papar Didier Mailala, salah seorang petugas keamanan. Sangat penasaran dengan kandang Matador ini, esok harinya saya kembali. Meskipun jarak Potchefstroom dengan Johannesburg cukup jauh. Dan, di hari ini, La Furia Roja menggelar latihan, otomatis seluruh wartawan yang terakreditasi FIFA diizinkan untuk menyaksikan persiapan David Villa dkk. Sangat berbeda dengan hari sebelumnya, kini sejumlah punggawa Spanyol hilir mudik, dan mereka diperbolehkan meladeni jurnalis. Hanya saja sesekali Angela Palomo, salah satu staff timnas Spanyol, mewanti-wanti kepada pemain untuk tidak menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris kepada wartawan televisi. Mungkin dia tidak ingin armada perang Vicente del Bosque ini salah ucap dari sisi grammar dan disaksikan publik. Tempat tinggal sementara pasukan Vicente del Bosque ini merupakan satu kompleks bangunan olahraga. Sekitar 500 meter menuju kompleks tersebut terpampang billboard “Potchefstroom Welcomes Spain” Sedangkan Di bangunan utama kampus terdapat spanduk sangat besar bertuliskan “Ilusion es mi camino, victoria mi destino” (Harapan adalah jalanku, kemenangan tujuanku). Pihak unversitas mengeluarkan dana sebesar USD5,8 juta untuk memberikan fasilitas tebaik bagi kampiun Euro 2008 tersebut. Sedangkan USD3 juta dikucurkan untuk membuat kamar ganti baru. Kompleks tersebut memiliki 70 kamar untuk pemain, pelatih, serta staff dari timnas Spanyol. Termasuk diantaranya dua chief dan tujuh koki. “Kami ingin mereka merasa berada dii rumah,” ujar Annette Combrink, mantan rektor Universitas North West yang merangkap sebagai ketua Piala Dunia lokal Johannesburg. Bukan hanya universitas yang merogoh uang besar agar La Furia Roja betah tinggal di Potchefstroom. Pihak pemerintah kota juga melakukan hal yang sama. Sedikitnya UDS3,35 juta digelontorkan untuk memperbaiki jalan raya dari pangkalan udara Badan Pertahanan Afsel (SADF) menuju universitas. Spanyol terbang dari Madrid langsung ke pangkalan udara militer tersebut. Tak heran, jalan di kawasan ini begitu mulus. Di sisi-sini jalan juga terdapat pepohonan rindang. “Pohon-pohon itu sangat rindang dalam musim panas. Kini, tak begitu,” lanjut Mailala. Senwes Park sendiri dipilih oleh Federasi Sepak Bola Spanyol karena fasilitasnya yang super kumplit. Dalam situs resmi universitas disebutkan, sekitar 1000 atlit berlatih untuk mempersiapkan diri sebelum bertarung di turnamen besar seperti Olimpiade. Di antaranya adalah atlet Inggris Linford Christie dan Paula Radcliffe. POTCHEFSTROOM, South Africa 2010

Minggu, 13 Juni 2010

Pro Kontra RapeX

TINGGINYA tingkat perkosaan di Afrika Selatan (Afsel) membuat Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) mendukung pendistribusian kondom Rape-Axe (RapeX). Jenis kondom yang dipatenkan oleh wanita Afsel Sonnet Ehlers tersebut diharapkan bisa menekan jumlah perkosaan di negeri pelangi ini. Bentuk kondom ini mirip seperti tampon yang biasa dikenakan saat menstruasi atau femidom (kondom untuk wanita). Tapi di dalam kondom tersebut disisipi potongan besi tipis yang sangat tajam. Jadi ketika pria berusaha memperkosa, maka besi tajam tersebut akan melukai kelaminnya. Besi tajam itu akan tetap melekat di alat vital pria tersebut dan hanya bisa dilepaskan melalui tindakan operasi. Efektifnya, polisi bisa langsung menciduk calon pemerkosa, karena dia bakal pergi ke rumah sakit untuk melepaskan alat tersebut. “Saya sebelumnya bekerja di Badan Transfusi Darah. Di sana saya sering menemukan korban perkosaan. Banyak sekali,” ujar Ehlers. “Alat ini bisa memberikan rasa aman bagi para wanita,” lanjut Ehlers. Tingginya jumlah perkosaan di Afsel terkait dengan tradisi bahwa pria adalah kaum yang berkuasa dan punya hak atas wanita. Tak heran selain tingkat kejahatan ini, di Afsel banyak pria yang memiliki istri lebih dari lima. Selain untuk menekan angka perkosaan RapeX juga memiliki jenis lain, yakni untuk mencegah kehamilan dan menjauhkan diri dari HIV/AIDS. Meski mampu menekan jumlah perkosaan, RapeX tetap saja memiliki kekurangan. Bila si pemerkosa adalah pengidap HIV/AIDS maka darah luka dari besi tajam tersebut bakal mengenai korban. Besar kemungkinan korban bakal tertular HV/AIDS juga. Selain itu, penggunaan RapeX juga memiliki risiko besar. Bila si pemerkosa emosi lantaran kelaminnya terluka, dia bisa saja membunuh korbannya. “Kita tidak bisa memastikan apa yang bakal terjadi dalam sebuah percobaan perkosaan. Bila pemerkosa gagal karena korban memakai RapeX, korban bisa melarikan diri untuk mencari pertolongan,” papar Ehlers membantah kritikan yang ditujukan padanya. JOHANNESBURG, South Africa 2010

Kamis, 10 Juni 2010

Survival of the Fattest

ADA fenomena menarik di Benua Afrika, dan tentu saja di Afrika Selatan (Afsel). Ketika di belahan bumi yang lain para wanita berlomba lomba memiliki tubuh dengan zero size, di sini kaum hawa lebih bangga bila berbadan montok bahkan gemuk. Ukuran tubuh jumbo seksi, menarik dan yang paling penting lebih disukai oleh pria. Karenanya, sepanjang pengamatan di Johannesburg, Afsel, wanita kurus mungkin hanya satu berbanding 10. Dan, kebanyakan dari yang berbadan langsing adalah orang kulit putih. “Kurus? Hanya tulang dan kulit? Itu kelaparan. Kami suka bentuk tubuh kami,” ujah Sheilla, yang berbicara mewakili teman-temannya yang juga bertubuh gemuk. Sebuah studi yang dilakukan oleh LSM asing LIFE di beberapa negara di Afrika, menemukan bahwa cara pandang warga terkait apa yang terjadi di masa lampau. Ketika para leluhur mereka berjuang keras untuk bisa menemukan pangan. Jadi, ketika mereka akhirnya bisa makan, maka mereka bakal terus makan. Karena hanya orang dengan cadangan nutrisi di dalam tubuhlah yang bisa melewati berbagai krisis dalam kehidupannya. Uniknya, cara pandang warga Afrika ini mirip dengan teori survival of the fittest. Bahwa hanya mereka yang kuatlah yang akan selamat. Tapi, ‘teori’ survival of the fattest berkembang lebih luas lagi. Pandangan tersebut akhirnya membentuk satu kenyataan bahwa wanita memilih untuk gemuk lantaran kaum pria lebih suka bentuk tubuh demikian. “Tubuh gemuk juga melambangkan kesuburan dan kekayaan, “ ujar Sheilla. Kondisi di Mauritania bahkan lebih ekstrim. Wanita yang tidak beruntung karena memiliki tubuh langsing, rela datang ke dokter hewan untuk mendapat vitamin bagi ternak. Entah bagaimana kontrol pemerintah akan hal ini, yang pasti penggunaan vitamin ternak untuk menggemukkan badan sangat tinggi di negara tersebut. “Itu hal biasa. Kita bisa datang dan meminta vitamin ternak,” ujar Dionne, wanita asal Mauritania yang sudah tiga tahun menetap di Johannesburg. Menjadi gemuk adalah suatu kewajiban untuk wanita di Mauritania. “Saya disuruh minum susu unta 14 liter per hari. Saya gemuk tanpa harus minta vitamin ke dokter hewan,” imbuh Dionne yang sangat bangga memiliki berat badan 115 kg. JOHANNESBURG, South Africa 2010

Heinze: Siapa Lagerback?

RAUT wajah Gabriel Heinze mendadak berubah. Bek Olympique Marseille itu terlihat bingung. Dia meminta jurnalis Swedia kembali mengulang pertanyaan dalam konferensi pers Argentina, Rabu (9/6) di Rugby Ground Universitas Pretoria. “Apakah Anda mengetahui gaya permainan Lars Lagerback?” Heinze lagi-lagi mengernyitkan keningnya. “Siapa dia? Saya tidak kenal,” ujar Heinze polos. Ofisial dari Federasi Sepak Bola Argentina (AFA) mendekati dan membisikan sesuatu ke telinga mantan punggawa Manchester United dan Real Madrid itu. “Oh pelatih Nigeria?” Tepuk tangan pun langsung riuh bergema di ruangan tersebut. “Saya tidak mengenalnya secara personal. Saya juga belum pernah tahu bagaimana gaya permainannya,” lanjut Heinze. “Saya juga belum menyaksikan rekaman pertandingan Nigeria setelah ditangani dia (Lagerback).” Walau tidak mengetahui siapa Lagerback, Heinze mengakui kehebatan Nigeria. “Saya mengenal beberapa pemain Nigeria. Mereka unggul secara fisik. Mereka sangat kuat.” Heinze juga meminta agar tidak membandingkan Argentina sekarang dengan Los Albicelestes 1990. Masih segar dalam ingatan gila bola Argentina mengawali laga pembuka Piala Dunia 1990 dengan pil pahit. Mereka ditekuk Kamerun. “Hal itu sungguh berbeda. Kami menghormati Nigeria tapi kami akan berusaja maksimal meraih kemenangan,” tegas pemain berusia 32 tahun tersebut. Meski sempat terseok-seok di babak kualifikasi, Heinze optimistis Los Albicelestes bisa bicara banyak di Afrika Selatan (Afsel). “Kritik akan tim ini akan selalu ada. Kami sempat merasakan hal itu di laga kualifikasi (Piala Dunia zona CONMEBOL). Tapi, tim ini terus berkembang,” pungkas Heinze. PRETORIA, South Africa 2010

Semangat Piala Dunia ala Vakhegula Vakhegula

USIA mereka memang sudah tidak muda lagi. Lari mereka juga tak secepat Samuel Etoo atau Arjen Robben. Tapi untuk urusan sepak bola jangan pernah meremehkan Vakhegula Vakhegula. Sebuah klub sepak bola yang berisikan 35 nenek-nenek dengan rata-rata usia 50-84 tahun ini berani menunjukkan kekuatan mereka kepada tim mana pun yang menantang di lapangan hijau. Kini para nenek ini tengah bersiap untuk menghadiri turnamen olah raga untuk lanjut usia di Lanchaster, Michigan, Amerika Serikat (AS). Vakhegula Vakhegula didirikan lima tahun lalu oleh Beka Ntsanwisi. Awalnya hanya untuk menjaga agar wanita lanjut usia bisa menjaga kebugaran tubuhnya. Namun, idenya itu ternyata jitu. Apa yang terjadi pada Onica Ndzovela adalah bukti nyata. Nenek berusia 77 tahun ini awalnya mengeluhkan sakit punggung dan lutut sebelum bergabung dengan Vakhegula Vakhegula tiga tahun lalu. “Saya merasa segar sekarang. Saya tidak merasakan sakit lagi. Saya bisa lari,” ujar Ndzovela kepada saya sembari tertawa. Vakhegula Vakhegula sudah beberapa kali melakukan laga uji coba. Hebatnya lagi, mereka kerap memenangkan pertandingan –pertandingan tersebut. Semangat nenek-nenek ini semakin terbakar dengan berlangsungnya Piala Dunia di Afrika Selatan (Afsel). Menurut salah seorang ujung tombak Vakhegula Vakhegula Mudjadji Makondo dirinya akan menyaksikan laga Piala Dunia agar bisa belajar trik-trik baru mengelabui lini belakang lawan. “Saya selalu menyaksikan pertandingan Piala Dunia. Sangat menyenangkan untuk bisa mendapatkan ilmu menjebol gawang lawan,” ujar penyerang berusia 68 tahun tersebut. Klub yang kerap menghibur warga dalam pertandingannya itu berlatih rutin tiga kali dalam sepekan. Setiap latihan mereka bisa menghabiskan waktu 3-4 jam. Tapi sayang, di musim dingin seperti saat ini di Afsel, Vakhegula Vakhegula berhenti berlatih. “Kami pernah berlatih awal bulan (Juni) ini tapi udara sangat dingin. Saya rasa meski kami bersemangat kami harus ingat umur juga,” papar Maradona, gelandang yang bernama asli Chrestina Machede tersebut. Vakhegula Vakhegula yang dalam bahasa Xitsonga berate nenek-nenek ini bermarkas di dekat Kota Tzaneen, Provinsi Limpopo, 600 kilometer sebelah utara Johannesburg. Untuk urusan kekuangan klub, Vakhegula Vakhegula mengandalkan iuran anggota tim atau sumbangan penonton yang datang menyaksikan mereka bertanding. Termasuk untuk ongkos bermain di AS, 13-18 Juli mendatang. Bila dana tak terkumpul kemungkinan nenek-nenek ini bakal gagal unjuk gigi di Piala Veteran di Negeri Paman Sam. “Kami butuh 500.000 rand (sekitar Rp602,550,000) tapi kini hanya punya 130.00 rand,” ujar Ntsanwisi. LIMPOPO, South Africa 2010
Apa? Giwang ini? Berlian 2 Karat!

KONTROVERSIAL, attitude semau gue dan menikmati segala macam publikasi tak mungkin dipisahkan dari Diego Maradona. Sang nakhoda Argentina ini lagi-lagi menegaskan ‘sikapnya’ itu dalam latihan formalitas, begitu Maradona menyebutnya, pada Rabu (9/6) di Rugby Ground Universitas Pretoria.

Dalam latihan yang molor sekitar dua jam itu, Maradona hanya membawa para pemain penggantinya. Punggawa ‘yang punya nama’ yang tampak di lapangan hanyalah Sergio ‘Kun’ Aguero dan Martin Palermo. Sedangkan Lionel Messi, Javier Mascherano atau Gonzalo Higuain entah berada dimana. Padahal untuk masuk ke tempat latihan Los Albicelestes –julukan Argentina- sangat amat dibutuhkan kesabaran. Rencana yang dikeluarkan FIFA, Maradona seharusnya memulai latihan pada 16.15 waktu setempat. Namun, sesuai titah si tangan tuhan, wartawan di larang berada di training ground sebelum pukul 17.00. Alhasil menumpuklah wartawan di Jalan Burnett, Hatfield itu. Sialnya lagi, polisi dan petugas keamanan melarang keras siapapun menggunakan telepon selular tanpa penjelasan yang berarti. Setelah menunggu, rombongan peliput diperbolehkan berjalan menuju tempat latihan. Dari sana, kembali Maradona belum siap. Dia mengundur waktu hingga pukul 17.50. Beberapa jurnalis mengeluh karena suhu menukik tajam menyentuh angka dua derajat celcius di thermometer. Akhirnya jurnalis diperkenankan masuk. Di lapangan terdapat Maradona, dan beberapa pemain. Sialnya, tidak ada pemain bintang yang berlatih. Ditambah lagi, seakan-akan bukan timnas Argentina yang melakukan training tapi Maradona sendiri. Dia berdiri di luar kotak penalti bersama dua asistennya, lalu Maradona melepaskan tembakan kea rah gawang beberapa kali. Sedangkan Aguero atau Palermo hanya mencoba satu – dua kali. Setelah itu kedua pemain tersebut keluar lapangan dan masuk ke dalam gedung utama. Berselang sekitar tiga menit, Maradona juga keluar lapangan. Beberapa jurnalis berteriak, menanyakan persiapan terakhir Los Albicelestes. Dengan tenang, pria yang membawa Argentina juara dunia pada 1986 ini, menjawab: “Apa? Giwang ini? Berlian, dua karat!”

Ucapan Maradona merupakan respon terhadap kembali munculnya berita terkait lelang giwang berlian Maradona yang disita lantaran si dewa sepak bola ini tidak membayar pajak saat membela Napoli.

Setelah Maradona masuk ke gedung, seorang ofisial Federasi Sepak Bola Argentina (AFA) mengumumkan Maradona tidak akan menghadiri konferensi pers. Dia menunjuk bek Gabriel Heinze dan gelandang Mario Bolatti untuk menjawab pertanyaan wartawan.


PRETORIA, South Africa, 2010

Rabu, 09 Juni 2010

Menengok Rumah Nelson Mandela dan Desmond Tutu

SEKILAS Vilakazi sama seperti nama jalan lain di kawasan Suweto (dekat Johannesburg) atau bahkan di Afrika Selatan (Afsel). Kering, berdebu, dan yang paling dikenal adalah tingginya angka kiriminal di daerah ini. “Jika kamu mau kesana, silahkan saja. Tapi, ingat saya hanya bisa mengantar melewatinya saja. Jangan harap kamu bisa turun dari mobil,” tegas Webster, driver mobil pengemudi sewaan. “Saya tidak mau kita pulang tinggal nama!” Apa yang dikatakan Webster memang betul. Ketika hendak memasuki kawasan Suweto dari Johannesburg, seorang pria tergeletak di jalan dekat pom bensin. Di bajunya basah olah darah. “Mungkin dia tertembak. Jangan terlalu dilihat seperti itu!,” ujar Webster melihat saya yang tak bisa mengalihkan pandangan dari pria nahas itu. Dibalik semua cerita seram itu, Vilakazi menyimpan kisah yang sangat menarik. Tempat ini merupakan satu-satunya jalan di dunia yang pernah di tempat kediaman dua peraih Nobel, pejuang apartheid dan mantan presiden Afsel, Nelson Mandela serta Desmond Tutu. Tak hanya itu, sepanjang pembentukan sejarah negara ini Vilakazi memiliki peran yang sangat besar. Dalam bukunya, Long Walk to Freedom, Mandela menceritakan secara penuh emosional apa yang dia rasakan ketika kembali ke Vilakazi setelah mendekam selama 27 tahun dalam bui. “Malam itu saya kembali bersama (istrinya Winnie) ke (rumah) nomer 8115 di Orlando West. Seketika saya tahu saya telah meninggalkan penjara. Bagi saya rumah itu adalah pusat dari kehidupan saya. Tempat yang bertanda X pada geografi mental saya,” demikian tulis Mandela. Rumah itu lantas diubah menjadi museum nasional, sebagai tribute bagi Mandela yang berjuang keras memerangi apartheid. Mandela House Museum memang menarik banyak wisatawan, tapi banyak pula turis yang enggan kesana karena reputasi kawasan itu sebagai gudang kejahatan. “Ya itu benar. Tapi, Piala Dunia sedikit mengubah itu. Hampir setiap hari saya bertemu dengan orang dari berbagai Negara,” ungkap staf Mandela House Museum Madonna Seruto kepada saya. Bila kini Mandela memilih tinggal di Cape Town, lain halnya dengan Desmond Tutu. Dia masih memiliki rumah di Vilakazi. Rumah itu akan ditempatinya setiap Tutu berada di Johannesburg. Jalan ini juga merupakan tempat dimana Orlando West High School berdiri. Sekolah yang pada 16 Juni 1976 menjadi saksi gerakan protes siswa terhadap kebijakan pemerintah. Jalan Vilakazi juga merupakan tempat dimana draf Konsitusi Afsel dirancang pada 1955. “Tempat ini berubah menjelang Piala Dunia. Kami menyediakan banyak bar, restoran serta cafĂ©. Kami menyambut turis untuk menikmati Piala Dunia di jalan Vilakazi,” ujar seorang warga Vilakazi Douglas Davids. SUWETO, South Africa 2010